https://bima.times.co.id/
Forum Mahasiswa

Politik Dibalik Gelar Pahlawan?

Selasa, 11 November 2025 - 20:41
Politik Dibalik Gelar Pahlawan? Muhammad Fakhrur Rodzi, S.IP., M.IP., Lingkar Pinggir Bima.

TIMES BIMA, BIMA – Setiap tahun menjelang Hari Pahlawan, bangsa Indonesia rutin menyaksikan momen penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada sejumlah tokoh yang dianggap berjasa besar bagi negara. Upacara khidmat di Istana Negara, pengumuman nama-nama penerima, dan pidato penghargaan dari pemerintah menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi tahunan ini. 

Di balik kemegahan seremoni tersebut, muncul pertanyaan kritis: apakah gelar Pahlawan Nasional masih menjadi bentuk penghormatan tulus atas jasa para pejuang, ataukah telah bergeser menjadi formalitas politik dan simbol seremonial belaka?

Secara historis, pahlawan adalah sosok yang mengorbankan kepentingan pribadi demi kemerdekaan, keadilan, dan martabat bangsa. Mereka bukan hanya pejuang bersenjata, melainkan juga pemikir, guru, ulama, dan rakyat biasa yang menolak tunduk pada penindasan.

Dalam pandangan Bung Karno, pahlawan sejati adalah mereka yang “berkorban tanpa pamrih untuk bangsa dan tanah air.” Filosofi kepahlawanan itu bersifat universal dan tidak terbatas pada masa perang. 

Ia mencakup semangat pengabdian, perjuangan, dan tanggung jawab moral terhadap kemanusiaan. Namun, dalam praktik kontemporer, makna luhur itu sering kali tereduksi oleh proses birokratis dan kepentingan politik kekuasaan.

Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.

Syarat utamanya cukup ideal: penerima harus berjasa luar biasa bagi bangsa, memiliki integritas moral tinggi, tidak pernah menghianati negara, dan semasa hidupnya menginspirasi perjuangan nasional.

Dalam praktiknya, proses penetapan sering diwarnai tarik-menarik kepentingan daerah, politik, bahkan kepentingan keluarga dan organisasi.

Setiap tahun, puluhan nama diajukan oleh pemerintah daerah ke Kementerian Sosial. Dari sana, dilakukan seleksi administratif, historis, dan akademik sebelum diputuskan oleh Presiden melalui Dewan Gelar. 

Sayangnya, tidak jarang muncul kesan bahwa penganugerahan gelar lebih bernuansa politis sebagai bentuk “balas budi”, pencitraan pemerintah, atau sekadar memenuhi tuntutan simbolik menjelang momen nasional.

Sebagai contoh, beberapa tokoh penting dalam sejarah bangsa seperti Tan Malaka, Sutan Syahrir, dan KH. Ahmad Dahlan baru diakui sebagai Pahlawan Nasional setelah puluhan tahun kemerdekaan. Penundaan yang begitu lama menunjukkan bahwa keputusan politik sering kali mendahului objektivitas sejarah.

Ketimpangan Representasi dan Keadilan Sejarah

Masalah lain yang perlu dicermati adalah ketimpangan representasi dalam pemberian gelar. Sebagian besar penerima masih didominasi tokoh dari Jawa, sementara banyak pejuang dari wilayah timur Indonesia, Kalimantan, atau Maluku belum mendapat pengakuan setara.

Perjuangan di daerah-daerah tersebut juga berperan penting dalam mempertahankan keutuhan Republik. Selain itu, tokoh perempuan dan pejuang rakyat kecil masih sangat minim diakui. Hingga kini, dari lebih 200 Pahlawan Nasional, hanya sekitar 15 yang perempuan.

Fakta ini mengindikasikan bahwa narasi kepahlawanan nasional masih bias terhadap tokoh elit dan maskulin, belum sepenuhnya mencerminkan keanekaragaman perjuangan bangsa.

Gelar yang Kehilangan Makna Simbolik

Pemberian gelar Pahlawan Nasional semestinya menjadi momentum refleksi nasional. Namun dalam praktiknya, sering kali berakhir sebagai agenda seremonial tahunan tanpa makna substantif.

Nama pahlawan diumumkan, berita tersebar beberapa hari, lalu dilupakan. Jarang sekali diikuti dengan langkah konkret seperti penulisan ulang sejarah, pembangunan museum, penelitian, atau integrasi nilai perjuangan mereka dalam kurikulum pendidikan.

Akibatnya, gelar kehormatan itu kehilangan daya edukatif dan inspiratifnya. Gelar pahlawan menjadi sekadar “label penghormatan”, bukan sarana untuk membangun kesadaran sejarah dan karakter bangsa.

Mengembalikan Makna Kepahlawanan Sejati

Gelar Pahlawan Nasional seharusnya tidak hanya menjadi penghargaan, tetapi juga amanah moral bagi bangsa untuk meneladani perjuangan para tokoh tersebut.

Untuk itu, pemerintah perlu meninjau kembali mekanisme penganugerahan agar lebih transparan, partisipatif, dan berlandaskan riset sejarah yang kuat. Keterlibatan sejarawan independen, lembaga pendidikan, dan masyarakat sipil perlu diperkuat agar penetapan gelar tidak lagi terjebak dalam politik simbolik.

Selain itu, pendidikan sejarah dan karakter bangsa harus menjadi wadah utama untuk menanamkan nilai-nilai kepahlawanan. Menjadi pahlawan hari ini bukan lagi soal berperang melawan penjajah, tetapi berjuang melawan korupsi, ketidakadilan, kemiskinan, dan intoleransi.

Pahlawan masa kini adalah mereka yang menghidupkan nilai pengorbanan, kejujuran, dan tanggung jawab sosial di tengah krisis moral bangsa.Gelar Pahlawan Nasional sejatinya merupakan bentuk penghargaan tertinggi negara terhadap anak bangsa yang telah berjasa luar biasa. 

Namun, penghargaan itu hanya bermakna jika dibarengi dengan niat tulus, keteladanan moral, dan pengakuan sejarah yang objektif. Ketika gelar pahlawan dijadikan alat politik atau sekadar simbol seremoni, kita justru mengkhianati nilai perjuangan mereka sendiri.

Oleh karena itu, di Hari Pahlawan ini, marilah kita tidak sekadar mengenang nama-nama besar, tetapi menghidupkan kembali semangat kepahlawanan dalam tindakan nyata. Karena sesungguhnya, bangsa ini tidak kekurangan pahlawan yang kurang hanyalah kejujuran untuk meneladani mereka.

 

***

*) Oleh : Muhammad Fakhrur Rodzi, S.IP., M.IP., Lingkar Pinggir Bima.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Bima just now

Welcome to TIMES Bima

TIMES Bima is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.