TIMES BIMA, JAKARTA – Tidak semua bacaan dalam shalat disyariatkan dengan cara yang sama. Ada yang dibaca keras (jahr), ada pula yang dibaca pelan (sir). Di balik perbedaan itu tersimpan hikmah seperti dijelaskan para ulama ahli fikih.
Sayyid Abu Bakar Syatha dalam kitab I‘ānatuṭ-Ṭālibīn menjelaskan:
قَالَ ع ش: وَالْحِكْمَةُ فِي الْجَهْرِ فِي مَوْضِعِهِ: أَنَّهُ لَمَّا كَانَ اللَّيْلُ مَحَلَّ الْخَلْوَةِ وَيَطِيبُ فِيهِ السَّمَرُ شُرِعَ الْجَهْرُ فِيهِ طَلَبًا لِلَّذَّةِ مُنَاجَاةِ الْعَبْدِ لِرَبِّهِ، وَخُصَّ بِالْأُولَيَيْنِ لِنَشَاطِ الْمُصَلِّي فِيهِمَا، وَالنَّهَارُ لَمَّا كَانَ مَحَلَّ الشَّوَاغِلِ وَالِاخْتِلَاطِ بِالنَّاسِ، طُلِبَ فِيهِ الْإِسْرَارُ لِعَدَمِ صَلَاحِيَّتِهِ لِلتَّفَرُّغِ لِلْمُنَاجَاةِ، وَأُلْحِقَ الصُّبْحُ بِالصَّلَاةِ اللَّيْلِيَّةِ لِأَنَّ وَقْتَهُ لَيْسَ مَحَلًّا لِلشَّوَاغِلِ.
Transliterasi:
Qāla ‘A Sy: wal-ḥikmatu fī al-jahri fī mauḍi‘ih: annahu lammā kāna al-lailu maḥalla al-khalwah wa yaṭību fīhi as-samar, syuri‘a al-jahru fīhi ṭalaban li al-ladzati munājāti al-‘abdi li rabbih, wa khuṣṣa bi al-ulayayni li nasyāṭi al-muṣallī fīhimā. Wa an-nahāru lammā kāna maḥalla asy-syawāghil wa al-ikhtilāṭi bi an-nās, ṭuliba fīhi al-isrār li ‘adami ṣalāḥiyyatihi lit-tafarrug lil-munājāh. Wa ulḥiqa aṣ-ṣubḥu bi aṣ-ṣalāti al-layliyyah li anna waqtahu laisa maḥallan lis-syawāghil.
Terjemah:
Sayyid Abu Bakar Syatha berkata, “Hikmah disyariatkannya mengeraskan bacaan (jahr) pada tempatnya, yaitu dalam shalat Magrib, Isya, dan Subuh, karena malam adalah waktu untuk menyendiri dan menyenangkan untuk berbincang-bincang. Maka disyariatkan mengeraskan bacaan agar seorang hamba dapat menikmati lezatnya bermunajat kepada Tuhannya. Hal itu dikhususkan pada dua rakaat pertama karena pada saat itu orang yang shalat masih berada dalam keadaan semangat.
Sedangkan siang hari, karena merupakan waktu banyak kesibukan dan pergaulan dengan manusia, maka bacaan disyariatkan dengan pelan (sir), sebab waktu tersebut tidak cocok untuk sepenuhnya berkonsentrasi dalam munajat.
Adapun shalat Subuh disamakan dengan shalat malam karena waktunya bukan waktu kesibukan.”
Penjelasan ini juga ditegaskan oleh ulama besar, ‘Ali asy-Syibramallisi, yang menilai bahwa aturan jahr dan sir bukan hanya soal teknis bacaan, tetapi lebih mencerminkan harmoni antara waktu, suasana hati, dan kedalaman spiritual dalam ibadah.
Dengan begitu, jahr dan sir bukan hanya soal cara membaca ayat, tapi lebih kepada cermin kedalaman rasa dalam ibadah. Ada saatnya suara harus lantang menembus malam, dan ada pula waktunya bisikan lirih menjadi jalan sunyi menuju keheningan bersama Allah. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Mengapa Ada Shalat yang Dibaca Keras dan Ada yang Pelan? Ini Hikmahnya
| Pewarta | : Yusuf Arifai |
| Editor | : Ronny Wicaksono |