TIMES BIMA, YOGYAKARTA – Senja Yogyakarta pada Senin (4/8/2025) sore menjadi saksi hangatnya pertemuan antara penulis legendaris Dewi Lestari dan para penggemarnya dalam acara Meet & Greet dan Book Signing di panggung Teras, Grha Taman Budaya Embung Giwangan.
Acara yang berlangsung pukul 16.30 hingga 18.00 WIB ini menjadi salah satu sorotan utama di rangkaian Festival Sastra Yogyakarta 2025, menghadirkan Dee Lestari sebagai sosok inspiratif lintas bidang: penulis, musisi, sekaligus pemikir yang telah mewarnai dunia literasi Indonesia selama lebih dari dua dekade.
Dalam suasana akrab dan penuh kehangatan, Dee membagikan kisah di balik lahirnya karya-karya besarnya mulai dari Supernova, Perahu Kertas, Rectoverso, hingga Aroma Karsa dan Rapijali.
Ia mengungkapkan bahwa setiap buku memiliki tantangan tersendiri dalam proses penciptaannya, terutama novel pertamanya Supernova: Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh (2001), yang membangun semesta Supernova dengan enam karakter utama yang kompleks dan saling berkelindan.
"Semua buku punya tantangan, tapi yang paling sulit adalah ketika saya menulis buku dengan enam tokoh utama yang masing-masing punya alur dan aksi sendiri," ujar Dee di hadapan ratusan pembaca yang hadir.
Lebih dari sekadar cerita, Dee menyebut bahwa dirinya selalu berusaha menyisipkan lapisan-lapisan makna dalam setiap karyanya. Ia ingin agar pembaca tidak hanya menikmati kisah, tetapi juga mengalami perjalanan batin dan pemikiran yang mendalam.
“Saya suka menulis sesuatu yang bisa menggugah pikiran dan hati. Cerita itu bukan cuma hiburan, tapi juga ruang refleksi,” jelasnya.
Tak hanya dunia sastra, Dee juga menyinggung kiprahnya di dunia musik. Ia menyebut beberapa lagu ciptaannya telah dibawakan oleh penyanyi lain, termasuk “Tahu Diri” yang dibawakan oleh Bungareyza.
Namun yang paling menggetarkan hati para penggemarnya adalah pengakuan bahwa ia baru kembali bernyanyi setelah enam tahun vakum, dan Festival Sastra Yogyakarta menjadi panggung pertamanya dalam comeback musikal tersebut.
“Saya mulai menyanyi lagi setelah enam tahun. Banyak orang mengenal saya sebagai penulis, padahal saya juga penyanyi. Saya ingin publik tahu bahwa dua dunia itu hidup bersama dalam diri saya,” ucapnya sambil tersenyum.
Kehadiran Dee disambut antusias pengunjung dari berbagai penjuru kota. Tak sedikit yang mengaku tumbuh bersama karya-karyanya dan menjadikan tulisan Dee sebagai penguat dalam perjalanan hidup mereka.
Beberapa bahkan terlihat membawa buku-buku lama yang sudah lusuh karena sering dibaca ulang, menanti tanda tangan dan momen singkat bercakap langsung dengan sang idola.
Salah satu pengunjung istimewa dalam acara ini adalah Ismawati Retno, Kepala Seksi Bahasa dan Sastra Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta. Ia mengaku telah menjadi penggemar Dee sejak era 1990-an ketika sang penulis masih tergabung dalam trio vokal Rida Sita Dewi.
“Bisa bertemu langsung dengan Mbak Dee adalah mimpi remaja saya yang jadi nyata. Karyanya selalu menghadirkan kedalaman, baik sebagai musisi maupun penulis. Acara ini sungguh memperkaya semangat literasi masyarakat,” ungkapnya penuh semangat.
Acara ditutup dengan sesi foto bersama, obrolan santai, serta pesan hangat dari Dee kepada generasi muda untuk terus membaca, menulis, dan setia pada suara hati. Ia juga menegaskan pentingnya menjaga orisinalitas dan keberanian dalam berkarya.
Dengan perpaduan cerita, musik, dan inspirasi yang dibagikan Dee Lestari, Festival Sastra Yogyakarta 2025 tak hanya menjadi ruang selebrasi karya sastra, tapi juga ruang spiritual yang menghubungkan antara pencipta dan penikmat.
Kehadiran Dee pun membuktikan bahwa sastra dan musik bisa saling menghidupi—dan lebih dari itu, bisa menyentuh sisi terdalam dari jiwa manusia. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Tampil di Festival Sastra Yogyakarta 2025, Dewi Lestari Ungkap Proses Kreatif dan Pesan Jiwa
Pewarta | : A Riyadi |
Editor | : Ronny Wicaksono |