TIMES BIMA, JAKARTA – Beberapa hari sebelum Natal 2025, Indonesia kembali diuji. Hujan turun terlalu lama di beberapa daerah. Sungai meluap. Tanah bergerak. Lumpur menggempur meluluhlantakkan rumah dan infrastruktur.
Di layar ponsel, berita datang beruntun: banjir merendam rumah, longsor memutus jalan, angin kencang merobohkan atap, gempa kecil tapi cukup membuat orang berlari ke luar rumah.
Tidak semua menjadi headline besar. Sebagian hanya lewat sebentar di linimasa. Tergantikan oleh kabar lain.
Tetapi bagi mereka yang mengalaminya, bencana tidak pernah sekadar berita.
Ia adalah malam tanpa listrik. Air yang naik perlahan. Barang yang hanyut. Anak-anak yang tidur di pengungsian. Orang tua yang mencoba tetap tenang. Makanan yang datang terlambat dan berkejaran dengan rasa lapar.
Begitulah. Natal tahun ini datang saat Indonesia sedang diuji. Bukan hanya oleh alam. Pula oleh rasa lelah.
Lelah karena bencana datang berulang. Lelah karena hidup terasa rapuh. Lelah karena suara di luar sana sering lebih ribut daripada kepedulian itu sendiri.
Sementara, Natal 2025 ini datang tanpa gaduh. Tidak ada terompet langit. Tidak ada kilat surgawi. Yang terdengar justru notifikasi ponsel; pendek, berulang. Terasa sekali digitalnya.
Algoritma Palungan
Natal kali ini serasa ada di puncak hidup zaman algoritma. Apa yang kita lihat ditentukan oleh hitungan. Apa yang kita baca diseleksi oleh mesin. Apa yang kita sukai dipelajari. Apa yang kita benci disimpan.
Bahkan duka pun sering dinilai dari seberapa lama ia bertahan di layar.
Algoritma mengenal kita dengan cepat. Ia tahu kapan kita cemas. Kapan kita lelah. Kapan kita mudah tersentuh. Dan, kapan kita mudah lupa.
Dunia hari ini sangat pandai membaca manusia. Dan, Natal 2025 ini hadir di dunia seperti itu.
Di tengah semua kecanggihan ini, ada satu kisah lama yang tetap diceritakan tanpa tambahan efek. Seorang bayi lahir di tempat sederhana. Tidak ada ruang yang layak. Tidak ada kenyamanan. Injil mencatatnya singkat: dibungkus kain lampin, dibaringkan di palungan.
Jika kelahiran itu terjadi hari ini, sulit membayangkan algoritma apa yang akan mengangkatnya. Seorang bayi dari keluarga biasa. Lahir di kota kecil. Tanpa kekuasaan. Tanpa pengaruh. Tidak menjanjikan apa-apa. Tidak menawarkan solusi instan. Dalam logika zaman ini, ia tidak layak tampil di beranda.
Namun justru kisah itulah yang bertahan paling lama. Dua ribu tahun berlalu, namanya masih disebut. Bukan karena ia viral. Bukan karena ia kuat. Tetapi karena ia hadir dengan cara yang jujur.
Sejak awal, Yesus seperti tidak berniat mengikuti cara dunia bekerja. Ia tidak membangun pengaruh dengan paksaan. Ia berjalan dengan perjumpaan.
Ada algoritma lain yang bekerja dalam hidup-Nya. Bukan algoritma angka, melainkan algoritma kehadiran.
Yesus mendekati yang sakit, bukan yang berpengaruh. Ia duduk bersama mereka yang tersisih. Ia menyentuh yang dihindari. Ia memilih melayani, bukan dilayani.
Cara kerjanya sederhana, bahkan tampak kalah oleh zaman: mendahulukan cinta sebelum kebenaran. Hadir sebelum menghakimi. Mendengar sebelum berbicara. Ia percaya bahwa cahaya tidak perlu berteriak untuk mengusir gelap. Cukup menyala.
Hari ini, algoritma dunia bekerja sebaliknya. Yang keras lebih cepat naik. Yang marah lebih lama ditonton. Yang memecah lebih sering dibagikan. Konflik bertahan karena menguntungkan. Empati sering kalah karena dianggap tidak menarik.
Maka tidak heran jika kita lelah. Lelah oleh pertengkaran. Lelah oleh opini. Lelah oleh klaim kebenaran.
Lalu, di tengah kelelahan itu, bencana datang. Bencana yang sering kali menguji hal paling dasar: apakah kita masih saling menjaga?
Natal 2025 seakan berbisik pelan: inilah saatnya menjaga cahaya.
Bukan cahaya lampu hias. Bukan cahaya layar. Tetapi cahaya kerukunan dan kepedulian. Cahaya yang membuat orang mau menolong tanpa bertanya latar belakang. Cahaya yang membuat perbedaan tidak berubah menjadi jarak. Cahaya yang membuat duka orang lain terasa dekat.
Yesus tidak pernah memaksa. Ia mengundang. Ia tidak merebut perhatian. Ia memberi ruang. Di dunia yang sering memaksa kita memilih sisi, Natal mengingatkan bahwa menjadi manusia kadang berarti memilih untuk hadir; sederhana, setia, dan peduli.
Bencana mengajarkan satu hal yang sering kita lupakan: kita rapuh, dan karena itu kita saling membutuhkan. Di pengungsian, di dapur umum, di posko kecil, algoritma dunia tidak banyak berarti. Yang berarti adalah tangan yang mengulurkan bantuan. Kata yang menenangkan. Tatapan yang tidak menghakimi.
Natal tidak pernah menjanjikan hidup bebas ujian. Ia hanya menawarkan cara menghadapi ujian bersama. Dengan menjaga cahaya—agar tidak padam oleh lelah, tidak redup oleh perbedaan, tidak tergantikan oleh kebisingan.
Di hari libur Nataru ini, ketika kalender melambat tetapi layar tetap menyala, Natal mengajak kita berhenti sejenak. Bertanya pelan: algoritma apa yang sedang membentuk hidupku? Apakah aku ikut memperbesar kebisingan, atau menjaga cahaya?
Natal 2025 mungkin tidak mengubah dunia dalam semalam. Tetapi ia bisa menjaga dunia agar tidak semakin gelap. Pelan-pelan. Dari rumah ke rumah. Dari satu kepedulian kecil ke kepedulian berikutnya.
Natal datang saat negeri ini sedang diuji. Namun Natal kali ini pun membawa pesan terpentingnya; selama cahaya masih dijaga bersama, kita tidak sendirian menghadapi apa pun. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Renungan Natal 2025: Palungan, Algoritma, dan Ujian Kita
| Pewarta | : Khoirul Anwar |
| Editor | : Khoirul Anwar |